Bagi peminat terutama para kolektor kain tradisional, mungkin tidak ada salahnya melirik hasil tenunan Besemah ini. Hanya saja perlu diingat, isi kocek harus disiapkan lebih dulu karena harganya tidaklah murah. Paling murah sekitar Rp 5 juta sampai Rp 6 juta. Bahkan, songket yang usianya sudah di atas 100 tahun harganya malah dikabarkan bisa-bisa mencapai Rp 30 juta sampai Rp 50 jutaan.
Namun, agaknya sebelum telanjur bersusah payah berburu songket Besemah ini, sebaiknya niat Anda diurungkan saja. Sebab, mencari songket atau tenunan khas Besemah yang asli saat ini barangkali mirip dengan peribahasa: "meminta sisik ke belut", sesuatu yang memang sangat amat mustahil. "Keinginan memiliki songket Besemah sekarang, tidak ubahnya kita seperti mengkhayal. Sebab, kain tenunan ini memang ada harga tapi dide bedie barange(maksudnya, tidak ada barangnya). Jadi, yang ada selama ini cuma sekadar harga dimulut saja," jelas Djazuli Kuris, Walikota Pagar Alam.
Djazuli melukiskan, generasi terakhir yang masih sempat memakai tenun khas Besemah, barangkali adalah orang-orang Besemah seusia dirinya. Setelah itu, generasi berikut, jangankan sempat memakai, melihatnya saja mungkin tidak pernah. "Mungkin hanya yang seusia sayalah yang terakhir memakainya untuk acara adat. Karena, ketika jadi pengantin sekitar akhir 1970-an, songket yang dikenakan waktu itu sudah hampir lapuk," ujar Walikota yang asli Besemah ini.
Budayawan Besemah, Mohammad Saman, mengakui, pada periode 1960-1970-an, beberapa keluarga batik di Besemah sebetulnya masih menyimpan songket-songket khas tenunan tangan ini. Bahkan, beberapa tahun kemudian pun masih banyak yang punya. Namun, itu dipastikan sudah lenyap, selain memang dimakan usia, juga sengaja dijual kepada kolektor dan para pemburu barang antik yang sudah "menyerbu" Tanah Besemah sejak tiga dasawarsa lalu."Dari dulu memang belum terpikir oleh masyarakat, songket Besemah merupakan salah satu aset yang bernilai tinggi. Oleh karena itu pula, barangkali tidak seorang pun generasi sekarang yang bisa mewarisi keterampilan menenun seperti tetua-tetua dulu. Sehingga, wajar saja kalau kain tenun Besemah cuma tinggal nama," katanya.
ISYARAT bakal lenyapnya songket Besemah, sebetulnya sudah terbaca ketika memasuki dekade 1930-an. Menurut Gathmyr Senen, seorang pekerja seni di Palembang, berdasarkan beberapa literatur ternyata pada saat itu sudah terjadi stagnasi dari orang-orang Besemah yang terampil menenun. Pada saat itu, sudah sangat jarang generasi berikut di Tanah Besemah yang terampil menenun.Stagnasi ini bisa jadi karena saat itu situasi dan kondisi di Tanah Besemah memang tidak menguntungkan. Ini dipicu oleh kebijakan kolonial Belanda yang mulai "mengacak-acak" sistem pemerintahan dan kekerabatan Besemah.
Peran Kepala-kepala Sumbai (suku) di Besemah, bahkan saat itu dilikuidasi Belanda diganti sistem pemerintahan versi mereka.Situasi demikian, diperkirakan berpengaruh besar terhadap tatanan dan nilai-nilai tradisi masyarakat setempat. Salah satu dampaknya adalah terputusnya pewarisan seni tenun kepada generasi berikutnya.Menurut keterangan, sejak tahun 1940-an itu, sebetulnya kain tenun Besemah sudah mulai berkurang di peredaran. Ini memang sulit dihindari, karena saat itu sebagian besar orang asing misalnya dari Belanda dan Inggris, mulai berebutan membawa songket ini ke negaranya. Sejak itu hampir sepanjang tahun banyak orang yang berburu kain songket ke berbagai pelosok Pasemah.Bahkan, puncaknya terjadi sekitar tahun 1970, ketika para pedagang barang antik menjadikan Tanah Besemah sebagai idola. Mereka berdatangan dari Jakarta, Padang, Lampung, Medan, dan beberapa daerah yang memang menjadi bursa barang-barang kuno tersebut."Pada saat itu, desa-desa di Besemah memang diramaikan para pemburu barang kuno.
Mereka membeli apa saja, mulai songket, piring antik, ukiran, sampai beragam peninggalan yang berbau Besemah. Harganya jangan ditanya, kadang-kadang hanya sekadar ditukar dengan pakaian, piring model baru, radio, dan lain-lain. Karena tidak terbayangkan suatu hari nilainya begitu tinggi, ya saat itu masyarakat mau saja menjualnya. Apalagi, barang yang ditawarkan sebagai barter memang dibutuhkan saat itu," kata Hajjah Manuyah (103), tetua warga Desa Plang Kenidai (Pagar Alam), yang mengaku masih menyimpan beberapa lembar kain tenun Besemah ini.
KAIN tenun Besemah atau seringkali disebut Perelung atau kain Pelung, menurut Gathmyr Senen, memang khas dan sangat unik. Kekhasan itu tidak saja dalam bentuk fisik, namun juga khas dari sisi teknis penenunan di mana sejak awal sampai berwujud kain sepenuhnya dirangkai tangan-tangan perempuan Pasemah tempo dulu.Bahan dasar songket ini 100 persen menggunakan benang emas. Bandingkan dengan songket Palembang atau songket Silungkang (Sumbar) yang hanya menggunakan sebagian kecil benang emas. Motifnya kebanyakan garis patah, sangat berbeda dengan songket Palembang yang sebagian besar motifnya lengkung-lengkung dan patah.Kain Besemah kebanyakan dipakai untuk acara-acara adat, misalnya, pesta adat perkawinan dan perhelatan besar para keluarga batih.
Kekhasan songket Pasemah ini juga tergambar dari tata cara pemakaiannya."Kain adat Besemah itu tidak bisa dipakai sembarangan. Songket ini dikenakan dari dada sampai lutut. Jadi, aturan adatnya memang demikian," jelas Gathmyr Senen.Betapa tingginya nilai-nilai seni dan budaya yang menyertai songket Besemah. Akankah salah satu aset Besemah ini bisa bangkit kembali di masa datang?"Menurut saya memang mustahil dan terlalu berat untuk diwujudkan kembali. Selain bahan baku, benang emasnya sudah tidak ada lagi di pasar, warga yang mewarisi keterampilan menenun juga tidak ada lagi," tambah Gathmyr.Rasa pesimis ini memang sangat wajar. Sebab, untuk menenun songket Besemah butuh sentuhan halus dan seni tangan tersendiri. Karena tenun tangan, maka perlu tukang cukit, yakni orang yang ahli mengatur motif khusus benang emas sebelum ditenun.
Tukang cukit inilah yang sekarang tidak ada lagi. "Kalau tukang tenun, siapa pun bisa asal dilatih. Tapi, kalau tukang cukit ini yang susah karena tidak ada lagi orang yang menguasai itu," katanya.Jika memang seperti itu kenyataannya, berarti songket Besemah kini tampaknya memang sudah terkubur. Ini menyedihkan sekali. Dan tidak perlu kaget, jika suatu hari nanti anak cucu orang Besemah sudah tidak pernah tahu, di tanah tumpah darahnya pernah ada hasil karya yang bernilai tinggi.Kita pun sekarang tidak perlu kaget. Jika pemandu wisata dan para pemilik toko suvenir di Ubud, Bali, justru lebih tahu dengan kain songket Besemah. Begitu pula, tidaklah aneh kalau berbagai literatur Besemah tentang songket dan ukiran Besemah kini bertebaran di mancanegara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar